Definisi
Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan istilah yang merujuk pada luasnya variasi spesies makhluk hidup yang tinggal di bumi, dari tingkatan terkecil seperti mikroorganisme hingga tingkatan yang lebih besar seperti hewan, tumbuhan, dan jamur. Keanekaragaman hayati juga mencakup variasi genetik dalam setiap spesies dan berbagai ekosistem yang berisikan spesies tertentu.
Indonesia
Indonesia merupakan negara terluas ke-15 di dunia, dengan luas daratan sekitar 1.892.410,09 km² dan perairan sekitar 3.157.483 km² pada tahun 2024. Letaknya yang strategis di antara benua Asia dan Australia serta dua samudra telah menjadikan Indonesia memiliki variasi curah hujan yang besar, dengan yang tertinggi di Sumatera Barat (5.313,70 mm/tahun) dan terendah di Sulawesi Tengah (587,50 mm/tahun).
Tak hanya memiliki iklim yang beragam, Indonesia juga kaya akan jenis tanah yang tersebar di berbagai wilayah. Kombinasi antara keragaman iklim, jenis tanah, dan kondisi lingkungan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekosistem paling beragam di dunia. Terdapat sekitar 74 tipe ekosistem alami yang menjadi habitat bagi berbagai spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Karena itu, Indonesia menempati peringkat kedua setelah Brazil dalam hal keanekaragaman hayati daratan.
Data Flora
Pada tahun 2017, Indonesia tercatat memiliki 31.750 spesies tumbuhan yang telah teridentifikasi. Jumlah ini setara dengan sekitar 1,75% dari total 1.812.700 jenis tumbuhan yang telah teridentifikasi di seluruh dunia. Jumlah tersebut terdiri atas jamur (sebanyak 2.273 jenis), lumut (sebanyak 3.233 jenis), pteridofit atau tumbuhan paku (sebanyak 1.611 jenis), angiospermae atau tumbuhan berbunga (sebanyak 24.497 jenis), dan gymnospermae atau tumbuhan berbiji terbuka (sebanyak 135 jenis).
Proporsi jenis lumut di Indonesia mencakup sekitar 14,41% dari total jenis lumut di dunia, sedangkan gymnospermae di Indonesia mencakup sekitar 13,50% dari total jenis gymnospermae global. Angka ini menunjukkan betapa kayanya Indonesia dalam keanekaragaman tumbuhan, terutama pada dua kelompok tersebut.
Data Fauna
Tak hanya kaya akan tumbuhan, Indonesia juga memiliki keanekaragaman fauna yang luar biasa. Biodiversity Conservation Indonesia (2014) mencatat bahwa sekitar 12% mamalia dunia (sebanyak 515 spesies) ditemukan di Indonesia.
Negara ini juga memiliki sekitar 16% spesies reptil dunia (781 spesies) dan 35 spesies primata, yang menempatkan Indonesia pada peringkat keempat di dunia dalam hal keanekaragaman primata. Untuk burung, Indonesia memiliki sekitar 1.592 spesies atau 17% dari total spesies burung di dunia, menempatkannya di peringkat kelima. Selain itu, terdapat 270 spesies amfibi yang membuat Indonesia berada di posisi keenam dunia dalam jumlah keanekaragaman amfibi.
Terkait dengan pola persebaran spesies mamalia di Indonesia, Pulau Kalimantan memiliki jumlah spesies mamalia terbanyak dengan 268 jenis, disusul oleh Sumatera (257 jenis), Papua (241 jenis), Sulawesi (207 jenis), dan Jawa dengan 193 jenis (KLHK dan LIPI, 2019).
Indonesia juga dikenal memiliki keanekaragaman ekosistem pesisir yang sangat tinggi. Sekitar 18% terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia, mencakup lebih dari 70 genera dan 500 spesies karang. Laut Indonesia juga menjadi habitat bagi sekitar 2.500 spesies ikan, 2.500 spesies moluska, dan 1.500 spesies krustasea. Dari sekitar 7.000 spesies ikan dunia, sekitar 28,6% di antaranya ditemukan di Indonesia.
Setiap tahun, para peneliti terus menemukan spesies baru di Indonesia. Menariknya, sekitar 23,98% penemuan berasal dari Pulau Jawa, yang hanya mencakup sekitar 6,67% dari total luas daratan Indonesia. Hal ini terjadi karena eksplorasi keanekaragaman hayati lebih banyak dilakukan di wilayah tersebut.
Di sisi lain, masih terbatasnya penelitian di luar Jawa menyisakan potensi besar akan penemuan spesies-spesies baru di masa depan, terutama di daerah-daerah yang belum banyak dijelajahi.
Masalah
Selain kekayaannya, keanekaragaman hayati Indonesia juga menghadapi berbagai ancaman serius. Gangguan terhadap kelestarian flora dan fauna ini terbagi menjadi dua jenis, yakni langsung dan tidak langsung.
Gangguan langsung adalah yang secara langsung menyebabkan kematian atau penurunan populasi spesies, seperti perburuan liar (illegal hunting), penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), dan penebangan liar (illegal logging). Sementara itu, gangguan tidak langsung tidak membunuh spesies secara langsung, namun merusak habitat, mengganggu siklus hidup, atau mengacaukan keseimbangan ekosistem.
Kerusakan flora di Indonesia banyak disebabkan oleh deforestasi akibat penebangan pohon, kebakaran hutan, dan alih fungsi lahan. Meski sekitar 50% wilayah Indonesia masih berupa hutan, sebagian besar sudah mengalami degradasi, baik sebagai hutan bekas tebangan, hutan sekunder, maupun hutan tanaman.
Indonesia terus mengalami penurunan tutupan hutan. Puncak deforestasi terjadi pada tahun 2012, ketika sekitar 928.000 hektar hutan hilang. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 500.000 hektar, tetapi kembali meningkat pada tahun 2014 dan 2015, masing-masing menjadi 796.500 hektar dan 735.000 hektar. Selain itu, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tercatat telah mencapai sekitar 328.724 hektar hingga Agustus 2019.
Ancaman serius lainnya terhadap satwa liar di Indonesia adalah perburuan dan perdagangan ilegal. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar berasal dari hasil tangkapan liar, bahkan lebih dari 60% mamalia langka yang dilindungi ditemukan diperjualbelikan, khususnya di pasar burung dan hewan peliharaan.
Di wilayah perairan, aktivitas manusia seperti industri pesisir, eksplorasi minyak dan gas, transportasi laut, serta pariwisata turut merusak ekosistem terumbu karang. Gangguan ini diperparah oleh faktor alami, seperti penggembalaan landak laut (erosi biotik) dan perubahan iklim yang memicu pemanasan laut dan pemutihan karang secara massal.
Apa Dampak yang Ditimbulkan?
Banyak ahli menyebut bahwa saat ini kita sedang mengalami Kepunahan Massal Keenam, yaitu laju kepunahan spesies saat ini diperkirakan 1.000–10.000 kali lebih tinggi. Penyebab utamanya meliputi perubahan iklim, kerusakan habitat, eksploitasi berlebihan, dan polusi. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), pada bulan Maret 2023 dari 150.300 spesies yang dinilai, sekitar 42.100 (lebih dari sepertiga) berada di ambang kepunahan. Spesies tersebut termasuk 41% amfibi, 36% terumbu karang, dan 27% mamalia.
Keanekaragaman hayati mencakup keragaman jumlah dan variasi spesies flora dan fauna dalam ekosistem. Ketika suatu spesies mengalami kepunahan, maka keanekaragaman hayati akan menurun. Hal tersebut dikarenakan, setiap spesies bergantung kepada satu sama lain dalam sebuah siklus kehidupan (contohnya rantai makanan). Jika satu spesies mengalami kepunahan, maka secara tidak langsung akan memicu kepunahan spesies lainnya, seperti sebuah efek domino.
Zoonosis adalah penyakit yang menular dari hewan ke manusia. diperkirakan 60–75% semua penyakit menular manusia memiliki asal-usul zoonotik, termasuk COVID-19, Ebola, dan demam berdarah. Keanekaragaman hayati yang tinggi dapat membantu mengontrol penularan penyakit. Hal ini karena terdapat spesies yang menjadi “penyangga alami” sehingga patogen tidak mudah menyebar langsung kepada manusia karena berpotensi menyebar di antara banyak inang.
Saat ini, manusia seringkali mengalihfungsikan lahan hutan menjadi pertanian dan peternakan sehingga meningkatkan intensitas kontak secara langsung atau tidak langsung kepada hewan. Pengalihfungsian lahan ini juga seringkali mempersempit habitat alami hewan. Dampaknya, hewan pun terpaksa berpindah ke pemukiman manusia yang kemudian meningkatkan risiko penularan. Di sisi lain, penggundulan hutan dan pembangunan infrastruktur transportasi mempercepat penyebaran penyakit dari daerah terpencil ke kota besar.
Apa Solusi yang Bisa Kita Lakukan?
Langkah yang paling utama adalah melakukan konservasi spesies dan habitat. Konservasi untuk melindungi spesies-spesies yang terancam punah dapat dilakukan dalam bentuk mengidentifikasi dan mengeliminasi ancaman yang ada di habitat tersebut, serta membatasi gangguan manusia terhadap satwa liar di habitatnya.
Pemerintah seharusnya memiliki peran penting dalam menyusun dan menegakkan undang-undang mengenai keanekaragaman hayati. Pemerintah diharapkan dapat melindungi taman nasional dan area dengan flora dan fauna, serta memberikan insentif kepada petani untuk praktik pertanian berkelanjutan. Kita sebagai masyarakat dapat mengadvokasikan hal tersebut kepada pemerintah setempat.
Referensi
BPS-Statistics Indonesia. (2019). Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2018. Badan Pusat Statistik Indonesia.
BPS-Statistics Indonesia (2024). Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2024. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Brilliyanto, R. (2023). Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Anwara Muhammad Foundation.
Kemen LHK dan LIPI. (2019). Panduan Identifikasi Jenis Satwa Liar Dilindungi: Hervetofauna. Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Lewis, J. (2022, March 31). 7 Solutions to Biodiversity Loss. Earth.org.
https://earth.org/solutions-to-biodiversity-loss/
Moate, M. (2023, March 16). 5 Concerning Effects of Biodiversity Loss.
Earth.org. https://earth.org/effects-of-biodiversity-loss/
National Geographic Indonesia. (2019). Kepunahan Biodiversitas Tertinggi, Indonesia Peringkat Ke-6.
Retnowati A dan Susan D. (2019). Kekayaan jenis jamur dalam Retnowati A, Rugayah, Rahajoe JS, dan Arifiani D (ed.) Status Keanekaragaman Hayati Indonesia: Kekayaan jenis tumbuhan dan jamur Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta.
Setiawan, A. (2022). Keanekaragaman Hayati Indonesia: Masalah dan Upaya Konservasinya. Indonesian Journal of Conservation, 11(1).
Siboro, T. D. (2019). Manfaat keanekaragaman hayati terhadap lingkungan. Jurnal Ilmiah Simantek, 3(1).
Wirjohamidjojo S dan Swarinoto Y. (2010). Iklim Kawasan Indonesia (Dari Aspek Dinamik – Sinoptik). Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta