PAGE 1
Apa itu Ekofeminisme?
Kata “eko” dari ekologi berasal dari bahasa Yunani “oikos” yang memiliki arti rumah tempat tinggal; tempat tinggal semua perempuan dan laki-laki, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari (Isshiki, 2000). Sementara itu, feminisme lahir sebagai konsekuensi dari riwayat diskriminasi dan penindasan yang dialami perempuan. Dengan kata lain, ekofeminisme adalah gerakan yang lahir atas keprihatinan terhadap ketimpangan gender dan kerusakan lingkungan. Ekofeminisme memiliki keyakinan bahwa alam dan perempuan telah lama menjadi pihak yang termarjinalkan di bawah masyarakat patriarki. Paham ini menekankan bahwa alam dan perempuan secara historis telah menjadi objek eksploitasi untuk kepentingan laki-laki.
Perempuan memiliki peran yang sering kali bersinggungan dengan lingkungan. Survei yang dilakukan oleh MarkPlus pada tahun 2015 menunjukkan bahwa sebanyak 74% perempuan di Indonesia memiliki peran signifikan sebagai pengelola keuangan rumah tangga. Peran ini memberikan mereka tanggung jawab atas pengaturan pendapatan dan pengeluaran keluarga (Purike et al., 2023). Perilaku ini memengaruhi kebiasaan belanja mereka, khususnya dalam pengambilan keputusan pembelian yang berdampak pada lingkungan. Keputusan tersebut umumnya berkaitan dengan produk yang berpotensi menghasilkan limbah rumah tangga yang sebagian besar dikelola oleh perempuan sebagai konsumen utama.
Melihat dari perspektif historis, perempuan telah banyak menggerakkan kegiatan aktivisme lingkungan. Green Belt Movement menjadi salah satu gerakan terbesar dalam sejarah perempuan dan lingkungan yang telah berhasil menanam lebih dari 50 juta pohon. Aktivisme lingkungan lainnya tercermin di peristiwa Pengambilalihan Tanah Kenya ketika perempuan berselisih dengan pemerintah. Menurut World Bank, sekitar 80% petani di Kenya adalah perempuan. Namun, meskipun menjadi pihak mayoritas, perempuan tetap menghadapi tantangan marginalisasi yang menjadi penyebab sulitnya mendapatkan kepemilikan tanah tempat mereka bekerja (Yola, 2019).
Di sisi lain, ibu juga merupakan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Melalui ibu, pendidikan, kesadaran, dan kepedulian akan lingkungan dapat diajarkan sejak dini kepada anak-anak dengan harapan akan mengakar menjadi kebiasaan dan menciptakan generasi yang peduli akan lingkungan. Semua hal tersebut mencerminkan keterikatan antara perempuan dengan alam. Disinilah kita bisa melihat urgensi penerapan ekofeminisme dalam kebijakan lingkungan. Dengan mempertimbangkan suara perempuan dalam pembuatan kebijakan, perempuan dapat memainkan perannya untuk berkontribusi lebih dalam pemberdayaan lingkungan.
PAGE 2
Sejarah Perkembangan Ekofeminisme
- 1970-an: Istilah “ekofeminisme” diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974. Para pemikir seperti Rosemary Radford Ruether, Mary Daly, Susan Griffin, dan Carolyn Merchant menulis karya-karya yang merelasikan penindasan perempuan dengan eksploitasi alam.
- 1980-an: Munculnya antologi dan kumpulan tulisan yang mengumpulkan pandangan ekofeminisme untuk mendukung gerakan lingkungan.
- 1990-an: Tahun 1990-an menjadi masa ketika hubungan antara feminisme dan lingkungan mulai dieksplorasi dalam literatur hukum. Beberapa artikel hukum yang membahas konsep ekofeminisme dirilis oleh penulis seperti Anne E. Simon, Robert Verchick, dan Joyner & Little.
- 2000-an: Muncul berbagai kampanye mengenai isu lingkungan yang berdampak terkhusus kepada perempuan, seperti kampanye WEN (Women’s Environmental Network) terkait bahan berbahaya dalam kosmetik, promosi popok kain untuk mengurangi limbah, dan bahaya pestisida dalam cokelat non-organik.
PAGE 3
Tokoh-Tokoh Ekofeminisme
- Aleta Baun: Dikenal juga sebagai “Mama Aleta” yang merupakan seorang aktivis lingkungan asal Mollo, Nusa Tenggara Timur. Beliau memimpin perjuangan masyarakat adat Mollo untuk menghentikan aktivitas pertambangan marmer yang merusak hutan dan tanah adat mereka yang dianggap sebagai bagian dari identitas dan kehidupan spiritual masyarakat. Luar biasanya, beliau memimpin aksi duduk tenun massal oleh para perempuan selama berbulan-bulan sebagai bentuk perlawanan yang damai. Aleta melihat bahwa perempuan memiliki peran penting dalam menjaga alam karena mereka yang paling merasakan dampak dari kerusakan lingkungan. Contohnya, kesulitan air dan pangan.
- Wangari Maathai: Seorang ilmuwan dan aktivis lingkungan asal Kenya, serta perempuan Afrika pertama yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian (2004). Beliau mendirikan Gerakan Green Belt Movement yang berhasil menanam lebih dari 50 juta pohon untuk melawan deforestasi dan memperkuat pemberdayaan perempuan pedesaan. Baginya, lingkungan yang sehat adalah dasar dari kehidupan yang adil dan perempuan harus menjadi bagian utama dalam menjaga kelestariannya.
- Vandana Shiva: Seorang ilmuwan fisika kuantum asal India yang beralih menjadi aktivis ekofeminisme dan pertanian berkelanjutan. Beliau menentang monopoli benih oleh perusahaan besar serta menyoroti dampak buruk pertanian industri terhadap petani kecil dan perempuan. Beliau mendirikan gerakan Navdanya dan berpendapat bahwa perempuan dan alam sama-sama dieksploitasi oleh sistem kapitalis dan patriarki. Menurutnya, solusi terhadap krisis lingkungan adalah melalui kearifan lokal dan peran aktif perempuan dalam menjaga bumi.
PAGE 4
Gerakan ekofeminisme mempunyai pengaruh besar di seluruh dunia karena menggabungkan perjuangan melindungi lingkungan dengan membela hak-hak perempuan. Ekofeminisme percaya bahwa kerusakan alam dan ketidakadilan terhadap perempuan memiliki keterkaitan. Karena itu, gerakan ini mendorong perempuan untuk terlibat langsung dalam menjaga alam dan ikut membuat keputusan penting. Beberapa tokoh yang mendukung gerakan ekofeminisme menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin dalam gerakan lingkungan terutama dengan cara yang adil dan berpihak pada masyarakat kecil.
Selain itu, ekofeminisme mengajak kita melihat alam bukan sebagai benda yang bisa dieksploitasi, tetapi sebagai sesuatu yang harus dijaga bersama. Gerakan ini menolak cara berpikir yang serakah dan merusak, serta menggantinya dengan nilai-nilai seperti kepedulian, keseimbangan, dan keberlanjutan. Dapat dikatakan bahwa aksi berbasis ekofeminisme yang telah dilakukan dapat membawa pengaruh positif terkait kesehatan lingkungan dalam bidang kehutanan dan pertanian. Aksi ekofeminisme juga berpengaruh dalam mempertahankan kehidupan alam dari tindakan yang eksploitatif.
Referensi
Astuti, T. M. P. (2012). Ekofeminisme dan peran perempuan dalam lingkungan. Indonesian Journal of Conservation, 1(1), 49–60.
Buckingham, S. (2004). Ecofeminism in the twenty‐first century. The Geographical Journal, 170(2), 146–154. https://doi.org/10.1111/j.0016-7398.2004.00124.
EraPurike, Tobing, F., Azizah, N., & Kesumah, P. (2023). Ekofeminisme dan peran perempuan Indonesia dalam perlindungan lingkungan. Jurnal Relasi Publik, 1(3), 42–53. https://doi.org/10.59581/jrp-widyakarya.v1i2.918
Hidayat, I. (2022, Oktober 26). Vandana Shiva; Ekofeminisme India yang Menjadi Inspirasi Dunia. Mubadalah.id.
Malone, L. A. (2015). Environmental justice reimagined through human security and post-modern ecological feminism: A neglected perspective on climate change. Fordham International Law Journal, 38(5), 1445–1470. https://scholarship.law.wm.edu/facpubs/1789
Maulana, R., & Supriatna, N. (2019). Ekofeminisme: Perempuan, alam, perlawanan atas kuasa patriarki dan pembangunan dunia (Wangari Maathai dan Green Belt Movement 1990-2004). FACTUM: Jurnal Sejarah Dan Pendidikan Sejarah, 8(2), 261-276. https://doi.org/10.17509/factum.v8i2.22156
Pratiwi, A. M. (2017, September 26). Aleta Baun: Kami Tidak Menjual Apa yang Tidak Bisa Kami Buat. Jurnal Perempuan.
Yola, E. (2019). Sifat dan perempuan: Perspektif eco-feministis. Jurnal Papatung, 2(1), 109–119.