Pagi itu, kamu berdiri di depan cermin, mencuci muka, menggunakan toner, serum, lalu moisturizer—rutinitas harian yang membuatmu merasa lebih segar dan percaya diri. Namun, pernahkah kamu berpikir, setelah kulitmu tampak glowing, ke mana perginya semua limbah produk itu?
Faktanya, industri kecantikan menghasilkan lebih dari 120 miliar unit kemasan tiap tahunnya dan sebanyak 40% kemasan ini berbahan plastik sekali pakai yang sulit terurai dan didaur ulang (Shalmont, 2020). Tidak hanya soal kemasan, zat kimia aktif dalam produk ini, seperti paraben, Beta Hydroxy Acid (BHA), dan retinol, ikut mencemari air dan tanah. Residu ini bisa masuk ke rantai makanan dan menimbulkan risiko gangguan hormonal, kanker, dan kerusakan sistem saraf. Hal ini berdampak pada bumi yang makin kusam karena perilaku konsumsi berlebih dan penggunaan kemasan sekali pakai dalam industri beauty product yang kini berkembang pesat. Oleh sebab itu, di balik kulit yang glowing, terdapat realitas yang jauh dari cantik.
Meningkatnya Tren Pengguna Beauty Product dan Produksi Limbahnya
Gambar 1. Proyeksi Pertumbuhan Berdasarkan Compounded Annual Growth Rate (CAGR)* dan Nilai Pasar Kecantikan Global (dalam $ Miliar) Menurut Wilayah Tahun 2023–2028.
Sumber: mckinsey.com
Penjualan dan penggunaan produk kecantikan, baik yang bersifat mempercantik, seperti lipstik dan bedak, maupun yang bersifat merawat, seperti sabun dan lotion, mengalami pertumbuhan signifikan secara global. Tren penggunaannya diprediksi tumbuh sekitar 6% per tahun hingga 2028, dengan skincare menyumbang 44% dari total pasar (Weaver et al., 2024). Di Indonesia, industri ini juga berkembang pesat, dengan pertumbuhan hampir 22% pada tahun 2023 yang dipengaruhi oleh peran media sosial dan influencer (Waluyo, 2024; Nawiyah et al., 2023). Maraknya tren ini di media sosial turut memicu perilaku konsumsi berlebih dengan banyak konsumen membeli produk bukan karena kebutuhan, melainkan karena rasa takut ketinggalan tren (fear of missing out atau FOMO). Sayangnya, di balik pertumbuhan ini, kesadaran akan dampak lingkungan dari limbah produk kecantikan kerap luput dari perhatian.
Industri kecantikan menyumbang limbah dalam jumlah besar. Industri ini diperkirakan menghasilkan lebih dari 120 miliar unit kemasan setiap tahunnya dan sebanyak 40% di antaranya berbahan plastik sekali pakai yang sulit terurai dan didaur ulang (Shalmont, 2020). Di Indonesia, limbah plastik dari produk kecantikan mencapai 6,9 juta ton per tahun, dan 70% di antaranya belum terkelola dengan baik (Alifah, 2024). Limbah ini umumnya berakhir di TPA, sungai, atau bahkan lautan. Jika tidak terkelola dengan baik, maka berisiko mencemari lingkungan dalam jangka panjang.
*) Compound Annual Growth Rate (CAGR) adalah rata-rata pertumbuhan suatu nilai (misalnya pendapatan, jumlah pengguna, atau ukuran pasar) setiap tahun selama periode tertentu.
Ancaman Limbah Beauty Product Terhadap Lingkungan
- Bahan untuk Kemasan Produk
Mayoritas produk kecantikan menggunakan kemasan plastik multi-material, seperti gabungan plastik dengan kaca, logam pada kemasan pump, atau lapisan aluminium pada kemasan saset yang membuat proses daur ulang menjadi sangat sulit dan mahal (Sofianti et al., 2023). Sementara itu, sampah plastik sendiri sulit terurai dan membutuhkan waktu hingga ribuan tahun untuk terurai di alam karena rantai karbonnya yang panjang (Sofianti et al., 2023). Akibatnya, limbah-limbah dapat tersebar ke lingkungan dan memperburuk pencemaran di sungai dan laut (Malihah et al., 2023).
- Microbeads
Microbeads adalah partikel mikroplastik yang paling banyak ditemukan dalam produk pembersih wajah atau scrub. Partikel ini sangat sulit untuk disaring oleh instalasi pengolahan air limbah (IPAL) karena ukurannya yang sangat kecil. Akibatnya, microbeads dapat masuk ke saluran air sehingga mencemari sungai dan laut. Pada akhirnya, partikel mikro ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan sehingga dapat membahayakan ekosistem serta kesehatan manusia (Cheung dan Fok, 2017).
Gambar 2. Butiran Kecil (Microbeads) dalam Produk Kecantikan dan Seberapa Kecil Ukurannya sehingga Mudah Tertelan oleh Ikan
Sumber: universaleco.id & plasticfreeseas.org
- Bahan-Bahan Kimia dalam Produk
Bahan kimia sisa dari produk kecantikan yang menjadi limbah pun membawa ancaman. Banyak produk mengandung bahan aktif, seperti paraben, triklosan, retinol, benzoil peroksida, serta pewangi sintetis (Agustin et al., 2025). Setelah produk digunakan dan dibilas, bahan-bahan ini ikut terbawa ke saluran air dan sulit terurai secara alami. Sayangnya, sebagian besar IPAL di Indonesia belum dirancang untuk menyaring mikropolutan seperti bahan-bahan ini (de Araujo, 2020). Akibatnya, zat-zat kimia tersebut dapat mencemari air permukaan dan air tanah, mengganggu keseimbangan mikroorganisme di dalam ekosistem perairan, serta terakumulasi di tubuh organisme, seperti plankton, kerang, dan ikan. Melalui rantai makanan, sisa bahan kimia ini akhirnya akan masuk ke tubuh manusia dan menimbulkan risiko paparan jangka panjang terhadap zat berbahaya.
Risiko Kesehatan Manusia yang Muncul
Gambar 3. Jalur Pajanan Mikroplastik kepada Manusia
Sumber: Sun et al., 2021
Berbagai penelitian terbaru mengonfirmasi bahwa mikroplastik, termasuk microbeads dari produk perawatan dan sisa bahan aktif dari kosmetik, mencemari lingkungan. Partikel-partikel kecil ini memasuki tubuh melalui air minum dan rantai makanan. Kemudian, mereka akan terakumulasi dalam tubuh manusia dan memicu dampak serius (Cheung dan Fok, 2017; Jayavel et al., 2024). Berikut adalah risiko kesehatan yang paling banyak dilaporkan.
- Gangguan Hormon dan Kesuburan
Mikroplastik dan bahan kimia kosmetik, seperti paraben, ftalat, oksibenzon, dan triklosan dapat mengganggu kerja hormon tubuh. Zat ini dapat meniru hormon alami dan mengacaukan sistem hormon, termasuk hormon yang mengatur kesuburan, perkembangan janin, serta metabolisme tubuh. Efeknya dapat berupa menurunnya tingkat kesuburan, kelainan perkembangan bayi, dan gangguan kerja hormon tiroid (Wirtu, 2024; Arman et al., 2021).
- Risiko Kanker
Mikroplastik dapat menyerap dan membawa senyawa beracun dari lingkungan, seperti logam berat dan senyawa organik beracun. Jika masuk dan menumpuk dalam tubuh, partikel ini dapat menyebabkan perubahan pada gen yang mendorong pertumbuhan sel tidak normal. Beberapa bahan dalam kosmetik, seperti paraben dan benzophenone, juga diketahui dapat memicu kanker jika digunakan dalam jangka panjang (Jayavel et al., 2024).
- Gangguan Sistem Imun
Paparan mikroplastik dalam waktu lama dapat membuat daya tahan tubuh melemah. Partikel ini dapat mengganggu keseimbangan bakteri baik di usus, merusak sel tubuh, dan menurunkan fungsi sel imun. Bahkan, mikroplastik telah ditemukan dalam plasenta ibu hamil yang dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan sistem kekebalan bayi sejak dalam kandungan (Wirtu, 2024; Jayavel et al., 2024).
- Gangguan Sistem Saraf
Mikroplastik yang berukuran sangat kecil dapat menembus pelindung otak dan memengaruhi fungsinya. Penelitian menunjukkan bahwa partikel ini dapat menurunkan kinerja otak dan menyebabkan kerusakan saraf. Paparan dalam waktu lama dikhawatirkan dapat menyebabkan gangguan otak jangka panjang, seperti penyakit Alzheimer (Arman et al., 2021; Jayavel et al., 2024).
- Penyakit Jantung dan Metabolisme
Penelitian terbaru menemukan keberadaan mikroplastik di dalam tumpukan lemak pada pembuluh darah manusia. Temuan ini dikaitkan dengan peningkatan risiko serangan jantung dan stroke. Selain itu, mikroplastik juga berhubungan dengan naiknya tekanan darah dan gangguan metabolisme seperti diabetes tipe 2 (Marfella et al., 2024; Napoli, 2025).
- Peradangan Kronis dan Efek Sistemik Lainnya
Dalam jangka panjang, mikroplastik dan sisa bahan kimia dari kosmetik dapat memicu peradangan di organ penting, seperti hati, ginjal, dan paru-paru. Partikel ini juga dapat membawa zat berbahaya atau kuman penyebab penyakit yang bisa memperparah infeksi dan mempercepat munculnya penyakit kronis (Jayavel et al., 2024; Wirtu, 2024).
Bagaimana Penanggulangan dan Solusinya?
Sebagian besar konsumen produk kecantikan masih belum menyadari dampak lingkungan dari produk yang mereka gunakan. Masalah ini semakin kompleks dengan praktik industri yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan kemasan sekali pakai yang sulit didaur ulang serta belum tersedianya sistem isi ulang secara luas (Shalmont, 2020). Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah ini, diperlukan langkah efektif dari berbagai pihak, baik dari pihak konsumen maupun pihak pemerintah.
- Konsumen
-
-
- Memilih produk dari brand yang menyediakan sistem isi ulang, ramah lingkungan, dan lebih mudah didaur ulang.
- Menghindari produk yang mengandung microbeads dengan cara memeriksa label kandungan.
- Jika belum bisa meninggalkan, setidaknya kurangi, dengan membeli produk secara bijak dan menggunakan produk sampai habis.
- Menghindari perilaku konsumsi berlebih dan FOMO yang mempercepat akumulasi limbah.
- Ikut mendorong brand untuk menerapkan kebijakan yang lebih berkelanjutan.
-
- Pemerintah dan Sistem
-
- Mempertegas dan memperketat aturan pelarangan penggunaan microbeads.
- Mewajibkan penerapan Extended Producer Responsibility (EPR), yaitu tanggung jawab produsen atas seluruh siklus hidup produk, termasuk pengelolaan limbahnya.
- Memperkuat sarana daur ulang nasional serta meningkatkan regulasi terkait pengelolaan limbah kosmetik.
- Melakukan edukasi publik secara luas tentang pentingnya memilih dan mengelola produk kecantikan secara bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Penutup
Di balik daya tarik kulit glowing dari produk kecantikan, tersimpan dampak limbah yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan manusia. Sudah sepatutnya bagi kita untuk lebih membuka pandangan dan menyadari bahwa self-care bukan hanya tentang merawat diri sendiri, melainkan juga merawat bumi sebagai rumah bagi kita, hewan, dan tumbuhan.
Dengan menjadi konsumen yang lebih bijak, mendukung kebijakan untuk memacu perubahan, dan mendorong industri untuk bertanggung jawab, kita dapat berkontribusi memutus siklus pencemaran yang selama ini terus berlangsung. Dimulai dari aksi kecil, seperti memilih produk yang lebih ramah lingkungan, menggunakan skincare sampai habis, atau menghindari sikap FOMO mungkin terdengar sederhana. Namun, jika dilakukan bersama-sama, perubahan besar untuk bumi yang lebih sehat bukan lagi sebuah angan belaka. Pada akhirnya, aksi kecil yang dilakukan secara bersama memiliki pengaruh besar untuk menjaga bumi tetap sehat, bersih, dan layak huni untuk generasi mendatang.
Referensi
Alifah, D. K., Isnaini, W., & Perawatan, A. (2024). Kampanye untuk membangun kesadaran akan dampak limbah kemasan skincare. FAD, 3(2). https://eproceeding.itenas.ac.id/index.php/fad/article/view/2910
Agustin, E. W., Tumangger, M. H., Nurmaliyah, A., Maudy, N. S., Lubis, C. M., Izzaty, S. U. N., Kuslinawat, D. C., & Sakti, E. P. (2025). Studi literatur kandungan zat berbahaya pada skincare dan dampaknya terhadap kesehatan kulit. An-Najat, 3(1), 1–10.
Arman, N. Z., Salmiati, S., Aris, A., Salim, M. R., Nazifa, T. H., Muhamad, M. S., & Marpongahtun, M. (2021). A review on emerging pollutants in the water environment: Existences, health effects and treatment processes. Water, 13(22), 3258. https://doi.org/10.3390/w13223258
Cheung, P. K., & Fok, L. (2017). Characterisation of plastic microbeads in facial scrubs and their estimated emissions in Mainland China. Water Research, 122, 53–61. https://doi.org/10.1016/j.watres.2017.05.053
de Araujo, J. P. (2020). Kajian instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di PT. Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) Jawa Timur, Indonesia [Undergraduate thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember].
Jayavel, S., Govindaraju, B., Michael, J. R., & Viswanathan, B. (2024). Impacts of micro and nanoplastics on human health. Bulletin of the National Research Centre, 48(1), 1–19. https://doi.org/10.1186/s42269-024-01268-1
Malihah, L., Nazairin, A., & Martapura Kalimantan Selatan, D. (2024). Sampah plastik sachet dalam perspektif pembangunan berkelanjutan. YUME: Journal of Management, 7(1), 198–210. https://doi.org/10.37531/yum.v7i1.6312
Marfella, R., Prattichizzo, F., Sardu, C., Fulgenzi, G., Graciotti, L., Spadoni, T., D’Onofrio, N., Scisciola, L., La Grotta, R., Frigé, C., Pellegrini, V., Municinò, M., Siniscalchi, M., Spinetti, F., Vigliotti, G., Vecchione, C., Carrizzo, A., Accarino, G., Squillante, A., … Paolisso, G. (2024). Microplastics and nanoplastics in atheromas and cardiovascular events. The New England Journal of Medicine, 390(10), 900. https://doi.org/10.1056/NEJMOA2309822
Napoli, N. (2025, March 25). New evidence links microplastics with chronic disease. American College of Cardiology. https://www.acc.org/About-ACC/Press-Releases/2025/03/25/10/19/New-Evidence-Links-Microplastics-with-Chronic-Disease
Nawiyah, N., Kaemong, R. C., Ilham, M. A., & Muhammad, F. (2023). Penyebab pengaruhnya pertumbuhan pasar Indonesia terhadap produk skin care lokal pada tahun 2022. ARMADA: Jurnal Penelitian Multidisiplin.
Shalmont, J. (2020). Sustainable beauty: Kesiapan konsumen di Indonesia dalam mengintegrasikan konsep keberlanjutan dalam pengelolaan sampah kemasan plastik produk kecantikan. Law Review.
Sofianti, S., Nandya, L., Maherdyta, N. R., Rosyidah, R., Prakasdi, R. G., & Prasetyo, M. D. (2023). Analisis pengelolaan sampah industri kosmetik X di Depok Jawa Barat. Jurnal Sanitasi Lingkungan, 3(1), 20–27.
Sun, R., Xu, K., Yu, L., Pu, Y., Xiong, F., He, Y., Huang, Q., Tang, M., Chen, M., Yin, L., Zhang, J., & Pu, Y. (2021). Preliminary study on impacts of polystyrene microplastics on the hematological system and gene expression in bone marrow cells of mice. Ecotoxicology and Environmental Safety, 218, 112296. https://doi.org/10.1016/j.ecoenv.2021.112296
Waluyo, D. (2024, April 26). Kinclong industri kosmetik tanah air. Indonesia.go.id. https://indonesia.go.id/kategori/editorial/7984/kinclong-industri-kosmetik-tanah-air?lang=1
Weaver, K., Pacchia, M. L., & Hudson, S. (2024, April 26). The beauty boom and beyond: Can the industry maintain its growth? McKinsey & Company. https://www.mckinsey.com/industries/consumer-packaged-goods/our-insights/the-beauty-boom-and-beyond-can-the-industry-maintain-its-growth
Wirtu, Y. D. (2024). A review of environmental and health effects of synthetic cosmetics. Frontiers in Environmental Science, 12, 1402893. https://doi.org/10.3389/fenvs.2024.1402893