Kejadian Leptospirosis Akibat Banjir Tahun 2020 di DKI Jakarta dan Kaitannya dengan Lingkungan

Kejadian Leptospirosis Akibat Banjir Tahun 2020 di DKI Jakarta dan Kaitannya dengan Lingkungan

Penulis: Dinda Ramadhina Putri

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Leptospira. Leptospirosis menjadi penyakit yang muncul kembali (re-emerging disease) ketika wabah leptospirosis muncul di beberapa negara (WHO, 2003). Indonesia sebagai salah satu negara tropis di Asia Pasifik memiliki angka kasus leptospirosis yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan salah satu karakteristik luasnya penyebaran penyakit ini adalah iklim yang tropis. Bakteri penyebab penyakit ini hidup pada suhu yang hangat, pH air yang netral, dan kelembaban serta curah hujan yang tinggi (Ningsih R, 2009).

Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI, sejak tahun 2004 hingga 2012 terjadi peningkatan kasus leptospirosis di Indonesia dengan case fatality rate (CFR) antara 5-15% (Depkes, 2014). Dalam skala nasional, meskipun jumlah kasus meningkat, jumlah kematian dan CFR menunjukkan penurunan yaitu dari 148 dan 16,5% pada tahun 2018 menjadi 122 kematian dan 13,26% pada tahun 2019 (Pusdatin, 2020). Walaupun secara nasional CFR dari tahun 2018 ke tahun 2019 menurun, jumlah kasus penyakit kembali meningkat pada tahun 2020. Penyumbang kasus dengan angka yang cukup tinggi adalah DKI Jakarta.

Kejadian Banjir di DKI Jakarta Tahun 2020

Pada tahun 2020, bulan Januari hingga Februari merupakan puncak musim hujan. Pada awal tahun, Jakarta tergenang banjir di beberapa daerah. Penyebab terjadinya banjir di DKI Jakarta pada awal tahun 2020 adalah curah hujan yang tinggi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa curah hujan pada awal tahun 2020 ini merupakan yang tertinggi selama ada pencatatan curah hujan sejak 1866. Angka curah hujan di beberapa wilayah mencapai 200 mm/hari sehingga terjadi banjir yang menyebar ke beberapa wilayah.

Selain itu, menurut kajian yang dilakukan Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPPTPDAS) Surakarta, kondisi DKI Jakarta yang merupakan dataran rendah diperparah dengan berkurangnya daerah resapan air. Berkurangnya daerah resapan terjadi karena pertambahan penduduk. Luas pemukiman di daerah aliran Sungai Ciliwung mencapai lebih dari setengah daerah aliran sungai itu sendiri. Oleh karena itu, air hujan langsung mengalir di permukaan. Kondisi diperparah karena menurunnya permukaan tanah di DKI Jakarta yang antara 0.18 sampai dengan 2,45 cm/tahun (Ramadhanis dkk, 2017).

Dampak banjir pada tahun itu tidak bahkan berlanjut setelah banjir surut. Selain banjir susulan, kekhawatiran masyarakat juga muncul akibat ancaman kesehatan pasca-banjir. Salah satu penyakit yang mengancam adalah leptospirosis. Hal ini terbukti dengan meningkatnya angka kasus leptospirosis di DKI Jakarta pada tahun 2020. Pada tahun 2018 dan 2019, jumlah kasus leptospirosis DKI Jakarta adalah 31 dan 37. Namun, pada tahun 2020, DKI Jakarta menyumbang 208 kasus leptospirosis (Subdin Kesmas, 2021)

Sejarah Jakarta dengan Penyakit Leptospirosis dan Kaitannya dengan Lingkungan

Meningkatnya kasus leptospirosis di Jakarta bukan pertama kali terjadi pada tahun 2020. Pada tahun 2002, jumlah kasus leptospirosis di DKI Jakarta akibat banjir besar yang terjadi tahun 2002 mencapai 113 pasien Leptospirosis dan 20 orang diantaranya meninggal. Hal ini menunjukkan Case Fatality Rate Leptospirosis pada masa itu mencapai 19,4% (Simanjuntak Gindo M, dkk., 2002).

Sebuah penelitian dengan populasi yang meliputi seluruh masyarakat yang menjadi pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUD Tarakan Jakarta melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor lingkungan terhadap meningkatnya angka leptospirosis. Penelitian ini memiliki populasi dengan sampel berupa pasien RSUD Tarakan Jakarta tahun
2003-2005 dengan dua kriteria, yaitu kasus dan kontrol. Kasus merupakan penderita leptospirosis, sedangkan kontrol merupakan pasien yang bukan penderita leptospirosis. Dari penelitian tersebut, disimpulkan bahwa salah satu faktor lingkungan kejadian leptospirosis dalam periode waktu tersebut adalah sarana air bersih serta komponen dan penataan rumah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus yang berasal dari rumah yang tidak memenuhi syarat mendukung berkembangbiaknya tikus sebagai vektor bakteri penyebab penyakit leptospirosis (Okatini dkk, 2007). Kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti kondisi perumahan yang sangat padat, lembab, dan tidak memiliki halaman. Selain itu, kondisi dalam rumah yang tidak tertata, pencahayaan yang kurang, dan jarak antar rumah yang terlalu padat menurunkan kualitas sirkulasi udara. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori Depkes RI (2002) yang menyatakan bahwa keberadaan tikus menggambarkan lingkungan rumah yang tidak terawat, kotor, kumuh, lembab, kurang pencahayaan serta adanya indikasi penatalaksanaan kebersihan lingkungan rumah yang kurang baik.

Selain kondisi rumah, sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat juga berhubungan dengan timbulnya kejadian leptospirosis. Sumber air mengalir di pemukiman padat penduduk dan kumuh rawan terkontaminasi oleh bakteri. Masyarakat memang terbiasa memasak air dari lingkungannya untuk diminum, tetapi tidak untuk keperluan mencuci dan mandi. Pemukiman yang padat dan kumuh juga identik dengan Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) dan sistem pembuangan sampah rumah tangga yang buruk. Limbah dan sampah yang tidak dikelola dengan baik cenderung mencemari aliran sungai dan saluran air kecil (sering disebut got) di sekitar tempat tinggal warga. Aliran air inilah yang menjadi tempat tikus bersarang dan mencari makan.

Patogenesis Leptospirosis

Leptospirosis terjadi karena adanya interaksi antara pembawa penyakit (agent), pejamu/tuan rumah (host), dan lingkungan (environment), yaitu di mana manusia melakukan kontak dengan hewan atau lingkungan yang sudah terinfeksi bakteri Leptospira. Hewan yang membawa bakteri tersebut tidak terlihat perbedaannya secara fisik dengan hewan yang sehat.
Hewan yang berperan dalam penularan leptospirosis adalah jenis binatang pengerat, terutama tikus. Bakteri leptospira yang dimaksud khususnya adalah spesies L. Ichterro haemorrhagiae. Sedangkan jenis tikus yang diserang bakteri ini kebanyakan adalah tikus wirok (Rattus norvegicus) dan tikus rumah (Rattus diardii). Beberapa spesies tikus yang menjadi reservoir
leptospirosis di Indonesia di antaranya adalah Rattus tanezumi, Rattus norvegicus, Bandicota indica, Rattus exculan, Mus musculus, dan Suncus murinus (Widjajanti, 2019).

Perpindahan bakteri leptospira dari hewan pembawa bakteri leptospira ke manusia dapat terjadi ketika manusia melakukan kontak dengan air atau tanah yang tercemar urin hewan tersebut. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit, terutama apabila durasi terpajannya kulit dengan air yang mengandung urin hewan pembawa bakteri terjadi dalam waktu yang lama. Penularan juga bisa terjadi apabila manusia mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri leptospira. Penularan bakteri tersebut ke manusia dapat terjadi secara tidak langsung melalui bakteri di lingkungan yang masuk ke tubuh manusia melalui luka terbuka atau membran mukosa (Ko et al., 2009). Oleh karena itu, salah satu faktor yang berperan penting dalam proses penularan leptospirosis adalah faktor lingkungan.

Gejala Klinis Penyakit Leptospirosis

Gejala klinis dari leptospirosis bervariasi tergantung dengan jumlah bakteri yang masuk ke dalam tubuh, intensitas interaksi antara tubuh manusia dengan bakteri, dan ketahanan tubuh terhadap bakteri. Gejala ringan berupa demam, sakit kepala, sakit perut dan myalgia, sedangkan gejala yang berat, seperti ikterik, gagal ginjal, kegagalan fungsi hati, perdarahan paru, bahkan hingga kematian (Bharti et al., 2003). Salah satu alasan mengapa leptospirosis sering diremehkan adalah karena gejala yang mirip dengan penyakit infeksi lain. Hal ini juga sering kali menyulitkan diagnosis leptospirosis secara dini sehingga penanganan kasus menjadi terlambat.

Upaya Pengendalian Leptospirosis

Dalam kegiatan upaya penanggulangan Leptospirosis, dilakukan beberapa kegiatan pokok pengendalian melalui advokasi dan sosialisasi; pemantauan terhadap manusia dan faktor risiko; tatalaksana perawatan leptospirosis; pemeriksaan laboratorium mikrobiologi; pengendalian faktor risiko; promosi kesehatan melalui upaya Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) berupa seperti buku petunjuk teknis dan informasi digital; bimbingan teknis/supervisor; dan monitoring dan evaluasi.

Upaya Pencegahan Leptospirosis

Setiap orang dapat mendukung upaya pencegahan penyakit leptospirosis dimulai dari diri sendiri. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya yaitu:

  1. Berperilaku hidup bersih dan sehat, yakni menjaga kebersihan diri dan lingkungan
  2. Menutup makanan dan minuman ketika disimpan
  3. Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan mencuci kaki dengan sabun setelah ke luar rumah
  4. Mengurangi penyimpanan barang yang tidak terpakai agar tidak menjadi sarang tikus
  5. Menggunakan jebakan tikus jika diperlukan
  6. Melakukan desinfeksi di bagian rumah atau gedung
  7. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) seperti sepatu boot dari karet dan sarung tangan karet bagi kelompok kerja yang berisiko tinggi tertular leptospirosis

Saran Upaya Pengendalian dan Pencegahan Leptospirosis

Upaya pencegahan dan pengendalian peningkatan angka kasus leptospirosis dapat dilakukan dengan perbaikan tata air, tata lahan, dan sosial ekonomi masyarakat. Tata air dan dan tata lahat berkaitan erat dengan daerah aliran sungai sebagai resapan air yang berperan utama dalam pencegahan banjir. Resapan air berupa biopori dapat dijadikan solusi dari lahan terbuka yang semakin sempit akibat meningkatnya populasi penduduk. Selain itu, perbaikan dan pemantauan saluran air atau drainase di sekitar pemukiman juga perlu dilakukan, begitu juga kontrol terhadap bendungan penahan dan pengendali air yang berguna mengukur
tindakan persiapan apabila curah hujan tinggi.

Apapun bentuk perbaikan infrastrukturnya, perilaku manusia harus menunjukkan sikap yang mendukung upaya perbaikan pembangunan. Individu yang berperan bukan hanya dari masyarakat, tetapi juga dari pemerintah. Edukasi dan promosi yang harus dilakukan berkaitan dengan penyakit leptospirosis, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan kebiasaan menjaga kebersihan lingkungan seperti membuang sampah pada tempatnya. Oleh karena itu, upaya pengendalian penyakit leptospirosis dan banjir dapat dilakukan melalui:

  1. Edukasi melalui kurikulum pendidikan formal dan/atau non-formal, serta pemanfaatan media sosial tentang penyakit leptospirosis dan upaya menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan,
  2. Pembangunan sistem tata kelola sampah beserta edukasi tentang proses dan cara kerjanya, dimulai dari tingkat RT,
  3. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah dan lingkungan,
  4. Penegakan aturan oleh pihak yang berwenang terkait permukiman, daerah aliran sungai, lingkungan hidup, serta konservasi tanah dan air, dan
  5. Pendataan yang terintegrasi dan peningkatan penelitian. Data berupa penyebaran bakteri leptospira di lingkungan sekitar hunian penduduk, wilayah yang rentan terjadinya banjir di setiap musim penghujan. Sedangkan penelitian bertujuan untuk mengetahui penyebaran bakteri Leptospira dan kemungkinan daerah yang dapat terjangkit leptospirosis sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan seperti desinfeksi, sanitasi, dan penyuluhan.

Referensi
Bharti AR, JE Nally, JN Ricardi, MA Matthias, MM Diaz, MA Lovett, PN Levett, RH Gilman, MR Willig, E Gotuzzo, and JM Vinetz 2003. Leptospirosis: a zoonotic disease of global importance. The Lancet Infectious Disease. 3:757-771.

Depkes RI. 2002 Pedoman Pengendalian Tikus. Jakarta : Depkes RI Dirjen PPM dan PL.

Depkes RI. 2014. Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Ditjen P2M dan PLP.

Ko, A.I., Goarant, C. and Picardeau, M. 2009. Leptospira: the dawn of the molecular genetics era for an emerging zoonotic pathogen. Nature Rev Microbiol.Nature Rev Microbiol. 7 :736-747.

Ningsih R. 2009. Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Leptospirosis di Jawa Tengah. Semarang : Universitas Diponegoro.

Okatini, Mari., Purwana, Rachmadhi., Djaja, I Made. 2007. Hubungan Faktor Lingkungan dan Karakteristik Individu terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di DKI Jakarta, 2003-2005. Depok : Universitas Indonesia. Jurnal Makara, Kesehatan Vol. 11, No. 1 : 17-24. [online] https://media.neliti.com/media/publications/147343-ID-none.pdf [Accessed on 4 April 2021].

Pusdatin Kemenkes RI. 2020. Profil Kesehatan Indonesia 2019. Jakarta : Kemenkes RI. [online] https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-indonesia-2019.pdf [Accessed on 4 April 2021].

Ramadhanis, Zainab., Prasetyo, Yudo., Yuwono, Bambang Darmo. 2017. Analisis Korelasi Spasial Dampak Penurunan Muka Tanah terhadap Banjir di Jakarta Utara. Jurnal Goedesi Undip Volume 6, Nomor 3. [online] https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/geodesi/article/viewFile/17193/16458 [Accessed on 4 April 2021].

Simanjuntak Gindo M, dkk., 2002. Leptospirosis Outbreak Epidemiology Study In Jakarta 24 Metropolis-Indonesia. Jakarta : Health Ecology Research and Development Center.

Subdin Kesmas. n.d. Rekapitulasi Penderita Leptospirosis tahun 2018-2020. [online] https://surveilans-dinkesdki.net/chart.php. [Accessed on 4 April 2021].

WHO. 2003. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. Geneva : World Health Organization and International Leptospirosis Society.

Widjajanti W. 2019. Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis. Health Epidemiol Commun Dis. 5(2): 62-68.

One thought on “Kejadian Leptospirosis Akibat Banjir Tahun 2020 di DKI Jakarta dan Kaitannya dengan Lingkungan

  1. Please tell me that youre heading to keep this up! Its so beneficial and so important. I cant wait to read more from you. I just feel like you know so a lot and know how to make people listen to what you have to say. This blog is just also cool to be missed. Fantastic stuff, actually. Please, PLEASE keep it up!

Comments are closed.